1. Contoh Kepemimpinan Transformasional
James McGregor Burns, dalam bukunya yang berjudul “Leadership”, mengungkapkan bahwa kepemimpinan
transformasional mencakup dua unsur yang bersifat hakiki, yaitu “relasional”
dan “berurusan dengan perubahan riil”. Kepemimpinan transformasional terjadi
ketika seorang (atau lebih) berhubungan dengan orang-orang lain sedemikian rupa
sehingga para pemimpin dan pengikut saling mengangkat diri untuk sampai kepada
tingkat-tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi.
Berdasarkan penjelasan mengenai kepemimpinan
transformasional diatas, contoh pemimpin di Indonesia yang saya rasa memiliki
sifat kepemimpinan transformasional adalah presiden pertama Republik Indonesia,
Ir. Soekarno. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi-kontribusi Ir. Soekarno
khususnya pada saat berjuang meraih kemerdekaan Indonesia. Ir. Soekarno dikenal
sebagai sosok yang sangat berani dan sanggup memotivasi masyarakat khususnya
para pemuda melalui pidato-pidatonya yang terkenal dapat membakar semangat para
pendengarnya. Kutipan pidato Soekarno yang sangat terkenal adalah, “Berikan aku
1000 orang tua maka akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda
maka akan kuguncang dunia.” Berkat kepemimpinan Ir. Soekarno, banyak lahir
pemimpin-pemimpin muda lain di daerah-daerah yang terinspirasi oleh semangat
beliau. Menjelang tercapainya kemerdekaan, para pemuda dan para pejuang tua
bersatu untuk mengatur strategi. Semangat yang sangat besar dari berbagai
kalangan tersebut yang merupakan hasil dari gaya kepemimpinan transformasional
Ir. Soekarno yang mampu membangun semangat dan melahirkan jiwa-jiwa pemimpin
baru dalam diri seseorang. Hal ini pun mendorong perubahan riil, yaitu rakyat Indonesia di berbagai daerah
yang tadinya terpecah belah dapat bersatu dan mencapai kemerdekaan.
2. Contoh Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional ini terwujud ketika para
pemimpin dan para pengikut (konstituen) berada dalam sejenis hubungan
pertukaran (exchange relationship) satu sama lain agar kebutuhan masing-masing
pihak dipenuhi. Jadi, semacam “barter” (tukar-menukar). “Pertukaran” ini dapat
berupa pertukaran yang bersifat ekonomis, politis atau psikologis, dan
contoh-contohnya dapat mencakup “menukar” tenaga kerja yang disumbangsihkan
dengan imbalan bayaran upah, memberi suara untuk memperoleh political favors.
Berdasarkan pengertian diatas, banyak pemimpin di
Indonesia yang memiliki karakter kepemimpinan transaksional. Diantaranya adalah
kepemimpinan Presiden Soeharto. Selama masa orde baru Golkar berhasil menjadi kekuatan politik di Indonesia. Dalam
fenomena ini dapat dilihat bahwa Soeharto merupakan pilar utama kekuatan Golkar
pada saat itu, ditambah birokrasi dan ABRI, terbukti dalam kemenangan Golkar
yang selalu tampil menjadi mayoritas tunggal dalam pemilu dan dalam parlemen
pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Selama berpuluh-puluh tahun berkuasa, Golkar menduduki
jabatan-jabatan penting mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk
hingga sampai kepada lembaga-lembaga struktur di daerah-daerah. Hal ini sangat
wajar karena Golkar sebagai partai hegemoni dan setiap pemilihan di masa Orde
Baru Golkar selalu menjadi partai pemenang dalam Pemilihan Umum.
Bukanlah rahasia lagi bahwa struktur
lembaga pemerintahan Golkar ini tidak terpisahkan dari birokrasi ABRI.
Kehadiran Golkar ataupun apparat militer di dalam kelembagaan pemerintah
merupakan hasil dari pilihan rakyat, namun demikian pilihan tersebut merupakan
suatu pilihan yang sebenarnya sudah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah yang
berkuasa, sehingga partai Golkar lah yang selalu menang. Banyak yang
berpendapat bahwa kerap kali terjadi tindak kekerasan politik dengan actor
utama militer yang membuat Golkar selalu sukses menang dalam pemilu. Penggunaan
kekerasan militer pada masa orde baru ini dijadikan “prosedur tetap” untuk mengendalikan
dan memobilisasi masa pemilih guna memenangkan Golkar. Sebagai imbalan karena
telah memastikan Golkar terus menang dalam pemilu, pihak ABRI pada masa
pemerintahan orde baru diikutsertakan
dalam sebagaian besar struktur pemerintahan, tidak hanya dalam hal pertahanan
dan keamanan saja. Hal
ini dapat kita lihat dalam struktur-struktur lembaga-lemabaga pemerintahan
daerah yang didalamnya masih di dominasi oleh orang-orang dari partai Golkar
dan aparat militer (Mulai dari DPRD, kepala daerah, wakil hingga sekretaris
daerah). Akibatnya, lembaga-lembaga negara lain khususnya di daerah selalu
bergantung kepada keputusan pusat dan pelaksanaannya tidak jauh-jauh dari
pemerintah pusat, dengan kata lain pemerintahan negara yang lain selain pusat
tidak terlalu memiliki fungsi yang signifikan.
Berdasarkan
penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa pada beberapa keputusan, Presiden
Soeharto memiliki gaya kepemimpinan transaksional. Dengan bantuan dan
perlindungan ABRI, Partai Golkar yang dipimpinnya dapat terus memenangkan pemilu untuk kurun
waktu yang tidak sebentar, dan sebagai gantinya ABRI diberikan kedudukan yang
luas dan cukup signifikan dalam pemerintahan orde baru.
Sumber:
Hartanto, F.M. (2009). Paradigma baru manajemen Indonesia
menciptakan nilai dengan bertumpu pada kebajikan dan potensi insani. Bandung:
PT Mizan Pustaka
Fannanie, Z. (1999). Perlawanan rakyat terhadap hegemoni
kekuasaan: dari putihisasi sampai reformasi kekuasaan. Surakarta:
Muhammadiyah University Press
Frans Indrapradja. “Kepemimpinan
Transformasional”. 31 Maret 2014. http://www.kompasiana.com/indrapradja/kepemimpinan-transformasional-transformational-leadership_54f7cb76a33311be208b4a4a